Tuesday, March 13, 2012

The BIG Clown is in the house!


Sudut ruangan benteng batu, 13 Maret 2012, 00:12.

Tiga menit lagi sebelum pria tua gendut berkumis dalam balutan jubah merah meneriakkan namanya dan memanggilnya ke tengah panggung. Tiga menit lagi sebelum panas sinar lampu spotlight dan ratusan blitz kamera menghujaninya. Tiga menit lagi sebelum kembali namanya terukir megah di ingatan para penonton. Dia adalah bintang pertunjukan di sirkus itu. Sudah 20 tahun lebih dia menjalaninya. Dan tidak pernah sekalipun dia gagal membuat ratusan mata terpingkal-pingkal melihat ulahnya. Dia selalu mendapatkan standing ovation sebagai tanda penghormatan atas kemampuannya menghibur. Namanya menjadi buah bibir setiap kali sirkus itu mampir di sebuah kota. Namanya dielu-elukan.Sang Badut Sirkus. Bukan badut sembarangan. Bukan badut kacangan. Bukan badut rendahan. Tapi dialah sang badut Sirkus.


Matanya nanar menatap cermin di hadapannya. Sebagian wajahnya sudah tertutup bedak putih dan cat. Bibirnya sudah dilapisi dengan lipstick merah tebal. Hidungnya sudah bertambah besar dengan aksesoris bola merah menyala diujungnya. Hanya matanya yang belum. Tinggal matanya. Dia terdiam lama menatap pantulan matanya di cermin. Tangannya bergetar hebat saat akan melukis matanya agar terlihat lebih besar dan ceria. Dia tidak sanggup. Pantulan matanya di cermin seakan berkata “Sudah cukup…. Sudah cukup…” Perlahan air mata mulai mengalir dari sudut mata kirinya. Kata orang itu air mata rasa sakit. Entahlah sudah lama dia tidak menangis. Profesinya tidak mengijinkannya. Ekspektasi penonton tidak memperbolehkannya. Dia adalah badut. Dan sudah seharusnya badut membawa kebahagiaan. Sudah sewajarnya badut menyebarkan keceriaan. Badut harus mampu membuat tertawa. Tidak ada badut yang menangis. Hanya Badut pecundang yang menangis.

Sudah lama sang badut sirkus tidak menangis. Yah sesekali suatu ketika air menetes keluar dari matanya, tapi itu bukan tangisan. Hatinya jarang sekali menangis. Kebanyakan hanya matanya. Sudah lama sejak terakhir kali dia megijinkan perasaan mengambil bagian terbesar dirinya. Mungkin itu sebabnya dia dijuluki “poker-face” di antara teman-temannya. Sang badut sirkus telah belajar membangun tembok besar mengelilingi perasaannya. Pernah sang badut mengijinkan pintu benteng perasaannya sedikit terbuka dan membiarkan segelintir orang melongok masuk ke dalamnya. Kebanyakan dari mereka mencibir. Sebagian besar dari mereka berbalik pergi. Sangat sedikit yang tinggal.

Pernah ada yang dengan keajaiban membuka pintu besi demi pintu besi. Meluluhkan gembok dan rantai. Menyeruak masuk seperti sinar matahari pagi dan mendapati sang badut sirkus di dalamnya. Tanpa make up. Tanpa bedak. Tanpa aksesoris apapun. Tanpa kostum. Tanpa tetek bengek apapun. Hanya dirinya. Seorang bocah laki-laki telanjang yang gemetar ketakutan terhadap dirinya sendiri dan menghadapi dunia dengan satu-satunya cara yang dikenalnya; dengan berkostum sang Badut sirkus. Sejenak kehangatan sinar pembawa keajaiban membasuh jiwa sang bocah kecil. Dia merasa bebas. Dia merasa ringan. Dia terbang. Dia terhanyut. Namun sang pembawa keajaiban pun pada akhirnya pergi kembali ke negeri asalnya-negeri impian dan harapan-meninggalkan sang bocah sendirian. 

Membenturkannya dengan kenyataan pahit bahwa terkadang realita, harapan, dan waktu yang tepat adalah racun mematikan. Menghempaskannya ke bumi dengan pesan yang terus tengiang di telinga hatinya, “Kamu akan baik-baik saja tanpa aku.” Kata-kata yang seharusnya menghibur dan menenangkan tapi bagi sang bocah laki-laki seperti menyiramkan asam sulfat ke luka hatinya yang menganga dalam. Sang bocah laki-laki marah. Dari dasar hatinya meluap kebencian yang bergolak menunggu saat yang tepat untuk bererupsi. Bukan kebencian terhadap sinar matahari pagi, namun terhadap dirinya sendiri. Terhadap hidup. Terhadap waktu dan harapan yang sekali lagi mempermainkan dirinya. Terhadap kesempatan yang tersenyum mengejek puas. Terhadap kenyataan yang sekali lagi menutup angkuh impian tepat di depan wajahnya..  

Life is a Bitch. Dengan kencang dia membanting keras pintu besi menutup kedap perasaannya. Bocah laki-laki ini kembali menjadi dirinya yang dulu. Kembali bertahan hidup. Masuk jauh lebih dalam ke relung bentengnya. Kembali meringkuk gemetar di sudut ruangan. Mengecap semua rasa marah dan sakit yang dirasakannya. Menelannya bulat-bulat. Memberi makan bagian tergelap dirinya. Dengan terisak mengulurkan tangannya kembali ke lantai. Mengambil kembali jubah yang tidak pernah dikiranya akan disentuhnya lagi . Mengenakan kostum kebesarannya. Kostum sang Badut Sirkus.

“THE BIG CLOWN IS IN THE HOUSE !!!” teriakan lantang sang pria gendut berkumis berpadu dengan teriakan riuh penonton membuyarkan lamunan nanar sang Badut sirkus. Dengan menggeretakkan gigi sang Badut sirkus memaksa tanganya melukis mata kosongnya di sisa-sisa detik terakhir. Membuatnya menjadi lebih besar. Menjadi lebih ceria. Dia tertunduk menghela berat nafas panjang sejenak. Kemudian menatap tajam ke cermin di hadapannya. Setidaknya riasan matanya mampu menutupi hampa di sana. Sang badut sirkus memaksakan diri tersenyum selebar mungkin. Mengumpulkan kebanggaan semu yang tersisa. Dirinya belum habis. Dirinya belum selesai. Dirinya masih punya sesuatu yang diidamkan dunia. Dirinya masih punya riasan wajah, kostum, dan gemerlap arena sirkus. Sampah sebenarnya, namun dunia tidak tahu itu. Setidaknya dirinya masih dapat mengangkat kepalanya tinggi dan menjadi sombong.

Dihapusnya tuntas air mata yang mengalir dari mata kirinya. Dia berdiri cepat. Memejamkan mata mengucapkan mantra lama yang biasa digumamkannya sebelum pertunjukan “Aku adalah seorang badut. Badut tidak menangis. Dunia membutuhkan badut yang ceria. Dunia tidak peduli.” Sang badut sirkus melangkahkan kakinya mantap ke tengah arena sirkus. Menyesap hangat spotlight dan hujaman blitz kamera. Menghirup dalam setiap teriakan kagum penonton. Meninggalkan perasaannya tergeletak membusuk mati di loker ruangan ganti.  



1 comment:

  1. Postingan yang bagus gan,
    Minta kunjungan baliknya ya kawan Edili 99

    ReplyDelete