Sudut ruangan benteng batu, 13 Maret 2012, 00:12.
Tiga menit lagi sebelum pria tua gendut berkumis dalam
balutan jubah merah meneriakkan namanya dan memanggilnya ke tengah panggung. Tiga
menit lagi sebelum panas sinar lampu spotlight dan ratusan blitz kamera
menghujaninya. Tiga menit lagi sebelum kembali namanya terukir megah di ingatan
para penonton. Dia adalah bintang pertunjukan di sirkus itu. Sudah 20 tahun
lebih dia menjalaninya. Dan tidak pernah sekalipun dia gagal membuat ratusan
mata terpingkal-pingkal melihat ulahnya. Dia selalu mendapatkan standing
ovation sebagai tanda penghormatan atas kemampuannya menghibur. Namanya menjadi
buah bibir setiap kali sirkus itu mampir di sebuah kota. Namanya dielu-elukan.Sang
Badut Sirkus. Bukan badut sembarangan. Bukan badut kacangan. Bukan badut
rendahan. Tapi dialah sang badut Sirkus.
Matanya nanar menatap cermin di hadapannya. Sebagian
wajahnya sudah tertutup bedak putih dan cat. Bibirnya sudah dilapisi dengan
lipstick merah tebal. Hidungnya sudah bertambah besar dengan aksesoris bola
merah menyala diujungnya. Hanya matanya yang belum. Tinggal matanya. Dia
terdiam lama menatap pantulan matanya di cermin. Tangannya bergetar hebat saat
akan melukis matanya agar terlihat lebih besar dan ceria. Dia tidak sanggup.
Pantulan matanya di cermin seakan berkata “Sudah cukup…. Sudah cukup…” Perlahan
air mata mulai mengalir dari sudut mata kirinya. Kata orang itu air mata rasa
sakit. Entahlah sudah lama dia tidak menangis. Profesinya tidak mengijinkannya.
Ekspektasi penonton tidak memperbolehkannya. Dia adalah badut. Dan sudah
seharusnya badut membawa kebahagiaan. Sudah sewajarnya badut menyebarkan
keceriaan. Badut harus mampu membuat tertawa. Tidak ada badut yang menangis.
Hanya Badut pecundang yang menangis.
Sudah lama sang badut sirkus tidak menangis. Yah sesekali suatu
ketika air menetes keluar dari matanya, tapi itu bukan tangisan. Hatinya jarang
sekali menangis. Kebanyakan hanya matanya. Sudah lama sejak terakhir kali dia
megijinkan perasaan mengambil bagian terbesar dirinya. Mungkin itu sebabnya dia
dijuluki “poker-face” di antara teman-temannya. Sang badut sirkus telah belajar
membangun tembok besar mengelilingi perasaannya. Pernah sang badut mengijinkan
pintu benteng perasaannya sedikit terbuka dan membiarkan segelintir orang
melongok masuk ke dalamnya. Kebanyakan dari mereka mencibir. Sebagian besar
dari mereka berbalik pergi. Sangat sedikit yang tinggal.
Pernah ada yang dengan keajaiban membuka pintu besi demi
pintu besi. Meluluhkan gembok dan rantai. Menyeruak masuk seperti sinar
matahari pagi dan mendapati sang badut sirkus di dalamnya. Tanpa make up. Tanpa
bedak. Tanpa aksesoris apapun. Tanpa kostum. Tanpa tetek bengek apapun. Hanya dirinya.
Seorang bocah laki-laki telanjang yang gemetar ketakutan terhadap dirinya
sendiri dan menghadapi dunia dengan satu-satunya cara yang dikenalnya; dengan
berkostum sang Badut sirkus. Sejenak kehangatan sinar pembawa keajaiban
membasuh jiwa sang bocah kecil. Dia merasa bebas. Dia merasa ringan. Dia
terbang. Dia terhanyut. Namun sang pembawa keajaiban pun pada akhirnya pergi kembali
ke negeri asalnya-negeri impian dan harapan-meninggalkan sang bocah sendirian.
Membenturkannya
dengan kenyataan pahit bahwa terkadang realita, harapan, dan waktu yang tepat
adalah racun mematikan. Menghempaskannya ke bumi dengan pesan yang terus
tengiang di telinga hatinya, “Kamu akan baik-baik saja tanpa aku.” Kata-kata
yang seharusnya menghibur dan menenangkan tapi bagi sang bocah laki-laki
seperti menyiramkan asam sulfat ke luka hatinya yang menganga dalam. Sang bocah
laki-laki marah. Dari dasar hatinya meluap kebencian yang bergolak menunggu
saat yang tepat untuk bererupsi. Bukan kebencian terhadap sinar matahari pagi,
namun terhadap dirinya sendiri. Terhadap hidup. Terhadap waktu dan harapan yang
sekali lagi mempermainkan dirinya. Terhadap kesempatan yang tersenyum mengejek
puas. Terhadap kenyataan yang sekali lagi menutup angkuh impian tepat di depan
wajahnya..
Life is a Bitch. Dengan kencang dia membanting keras pintu
besi menutup kedap perasaannya. Bocah laki-laki ini kembali menjadi dirinya yang
dulu. Kembali bertahan hidup. Masuk jauh lebih dalam ke relung bentengnya.
Kembali meringkuk gemetar di sudut ruangan. Mengecap semua rasa marah dan sakit
yang dirasakannya. Menelannya bulat-bulat. Memberi makan bagian tergelap
dirinya. Dengan terisak mengulurkan tangannya kembali ke lantai. Mengambil
kembali jubah yang tidak pernah dikiranya akan disentuhnya lagi . Mengenakan kostum
kebesarannya. Kostum sang Badut Sirkus.
“THE BIG CLOWN IS IN THE HOUSE !!!” teriakan lantang sang
pria gendut berkumis berpadu dengan teriakan riuh penonton membuyarkan lamunan
nanar sang Badut sirkus. Dengan menggeretakkan gigi sang Badut sirkus memaksa
tanganya melukis mata kosongnya di sisa-sisa detik terakhir. Membuatnya menjadi
lebih besar. Menjadi lebih ceria. Dia tertunduk menghela berat nafas panjang
sejenak. Kemudian menatap tajam ke cermin di hadapannya. Setidaknya riasan
matanya mampu menutupi hampa di sana. Sang badut sirkus memaksakan diri tersenyum
selebar mungkin. Mengumpulkan kebanggaan semu yang tersisa. Dirinya belum
habis. Dirinya belum selesai. Dirinya masih punya sesuatu yang diidamkan dunia.
Dirinya masih punya riasan wajah, kostum, dan gemerlap arena sirkus. Sampah
sebenarnya, namun dunia tidak tahu itu. Setidaknya dirinya masih dapat
mengangkat kepalanya tinggi dan menjadi sombong.
Dihapusnya tuntas air mata yang mengalir dari mata kirinya.
Dia berdiri cepat. Memejamkan mata mengucapkan mantra lama yang biasa
digumamkannya sebelum pertunjukan “Aku adalah seorang badut. Badut tidak
menangis. Dunia membutuhkan badut yang ceria. Dunia tidak peduli.” Sang badut
sirkus melangkahkan kakinya mantap ke tengah arena sirkus. Menyesap hangat
spotlight dan hujaman blitz kamera. Menghirup dalam setiap teriakan kagum
penonton. Meninggalkan perasaannya tergeletak membusuk mati di loker ruangan ganti.
Postingan yang bagus gan,
ReplyDeleteMinta kunjungan baliknya ya kawan Edili 99